• Metode Hisab dan Rukyat Bisa Disatukan

    METODE HISAB DAN RUKYAT BISA DISATUKAN
    25 Juli 2012 Wawancara wartawan Merdeka.com kepada Prof.Thomas Jamaluddin
    Reporter : Islahudin

    Sejak sidang isbat pertama kali dilaksanakan pada 1962, penentuan hari besar Islam di Indonesia selalu saja meninggalkan perbedaan, meski kadang kebetulan juga sama. Ini terutama dalam penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

    Meski sudah berlangsung setengah abad, perdebatan cara menentukan awal tiga hari besar Islam itu masih berlanjut. Diskusi itu berkutat seputar mana lebih sahih, melalui metode hisab atau rukyat. Padahal, perkembangan ilmu astronomi kian pesat.

    Tidak salah berbeda pendapat, termasuk soal penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Namun, jika situasi itu berlangsung terus meski ada upaya menyatukan, ini terlihat seperti ada yang memang sengaja membuat perbedaan itu. Siapa dirugikan bila perbedaan itu sulit diselesaikan?

    Zaman sudah modern, demikian juga perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk bidang astronomi, kian mutakhir. Sudah saatnya ilmuwan diberikan peran menentukan tiga haris besar Islam, yakni awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Apalagi, perdebatan para ahli hukum Islam tak kunjung mereda soal metode digunakan.

    Bila dalil-dali sudah tidak mampu memecah kebuntuan. keterlibatan ilmuwan harus dipertimbangkan. Sejauh mana mereka bisa menemukan solusi?

    Berikut penuturan Thomas Djamaluddin, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com, Rabu (25/7) siang, di kantornya, Jalan Pemuda Persil nomor 1, Rawamangun, Jakarta Timur.



    Bagaimana komentar Anda soal perbedaan penentuan tiga hari besar Islam masih terus terjadi di Indonesia?

    Masalah penentuan awal Ramadan dan mengakhirinya dalam penentuan Hari Raya Idul Fitri dan terkait penentuan Hari Raya Idul Adha, sering perbedaan terjadi dianggap karena perbedaan hisab (perhitungan) dan rukyat (penglihatan). Itu selama ratusan tahun berdebat masalah dalil saja. Tetapi saat ini perkembangan astronomi lebih maju dan akurat, dua-duanya dianggap setara, sama pentingnya, bisa saling mengisi. Rukyat diperlukan dan itu menjadi dasar atau formulasi dalam perhitungan astronomi. Hisab dalam astronomi diperlukan supaya rukyatnya bisa lebih akurat, karena saat ini kemungkinan salah dalam rukyat sangat terbuka sekali.

    Pada hakikatnya hilal sangat redup sekali. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cahaya hilal bisa mengalahkan cahaya syafak atau cahaya senja. Dalam beberapa kasus, kesalahan disebabkan salah mengidentifikasi. Saat mengidentifikasi seolah-olah ada cahaya, tapi kemungkinan itu hanya cahaya dari bintang kejora, planet Venus, atau mungkin cahaya planet Merkurius, atau mungkin bintang-bintang terang lainnya. Bisa juga objek-objek latar depan dari awan, mungkin awan tipis, mungkin juga cahaya lampu nelayan, atau objek-objek lain. Bisa saja orang mengira itu hilal karena memang cahayanya sangat redup.
    Jadi saat ini, rukyat dan hisab bisa disetarakan, bisa saling mengisi, melengkapi. Perbedaan seperti itu sudah bisa diselesaikan. Masalah dalil bukan lagi perdebatan, silakan orang mempercayai dalil-dalil rukyat melaksanakan rukyat mereka. Demikian juga orang mempercayai hisab, menggunakan dalil-dalinya untuk memperkuat hisabnya. Tetapi kalau kedua pihak menggunakan kriteria sama, maka insya Allah hasilnya akan sama. Artinya, kalangan yang biasa merukyat itu tidak semata-mata mendasarkan pada rukyat murni, karena bisa saja kemungkinan gangguan sangat banyak dan untuk salah dan keliru bisa saja terjadi. Jadi rukyat tetap dipandu dengan hisab akurat dan mengikuti kriteria-kriteria yang memungkinkan untuk dirukyat. Kriteria itu sebenarnya disusun dari data-data rukyat jangka panjang, kemudian dikompilasikan untuk dijadikan kriteria menentukan apakah suatu hilal itu bisa diamati atau tidak.

    Nah, hisab juga tidak boleh hisab murni. Tidak boleh lepas dari kaidah-kaidah rukyat karena pada dasarnya dalil-dalinya mendasarkan pada dalil-dalil rukyat. Memang secara astronomi, kondisi segarisnya bulan dan matahari sudah dianggap bulan baru. Dalam ilmu falak disebut ijtimak. Tetapi secara syar’i, itu tidak bisa dijadikan dasar awal bulan. Secara syar’i, Rasulullah mengajarkan dengan perintah rukyat, ada batas waktu tertentu untuk terjadinya rukyat, yakni saat magrib. Dalam Islam awal hari itu dimulai saat magrib. Saat itulah orang melakukan rukyat dan dalam budaya Arab dan Indonesia, penamaan hari dimulai saat magrib. Jadi istilah malam Jumat, malam Sabtu, itu sebenarnya dari konsep awal hari dimulai dari magrib.

    Yang dulu memperdebatkan hisab dan rukyat tidak relevan lagi, sudah seharusnya mengarah pada pemahaman sama bahwa hisab dan rukyat bisa setara. Tapi dalam kenyataannya, hisab maupun rukyat itu belum ada kesepakatan. Masing-masing mempunyai interpretasi sendiri berdasarkan pemahaman masing-masing. Di Indonesia kondisi masyarakatnya diwarnai adanya ormas-ormas Islam. Pemahaman terkait pemaknaan hisab rukyat dan kriteria-kriteria itu kemudian memberi warna pada ormas-ormas itu. Ormas-ormas ini berbeda dari segi metodenya dan berbeda dari segi kriteria. Perbedaan metode, rukyat dan hisab, saat ini sebenarnya bisa dipersatukan kalau kedua pihak mau menggunakan hisab dengan kriteria visibilitas hilal atau kemungkinan bisa dirukyat dan itu sudah dijajaki dan difasilitasi Kementerian Agama untuk mencapai kesepakatan itu.

    Pertama kali pada 1998, ormas-ormas Islam membuat kesepakatan menerima imkan rukyat atau visibilitas hilal yang mensyaratkan tiga hal. Pertama, ketinggian minimum dua derajat. Kedua, jarak bulan dan matahari tiga derajat. Ketiga, atau umur bulan minimal delapan jam. Pada waktu itu hampir semua ormas Islam mengikuti kesepakatan itu. Semua sepakat dengan kriteria itu kecuali Muhammadiyah. Muhammadiyah menganggap itu tidak ilmiah, tetapi justru yang dipegang Muhammadiyah itu lebih tidak ilmiah lagi. Mereka menggunakan wujudul hilal. Dalam astronomi wujudul hilal itu lemah.

    Kesepakatan berikutnya dilakukan pada 25 September 2011. Dalam pertemuan itu menegaskan lagi kriteria lama karena kriteria baru yang ditawarkan secara astronomi belum disepakati. Muhammadiyah tetap menggunakan wujudul hilal. Kalau menggunakan kriteria astronomi pasti kemungkinan perbedaan akan lebih sering terjadi karena kriteria astronomi itu lebih tinggi dibandingkan kriteria yang selama ini disepakati.

    Pemerintah terus mengupayakan untuk menyatukan semua pendapat umat yang diwakili ormas-ormas. Walau sebagian besar umat itu tidak terikat oleh ormas, tapi pemerintah tetap melaksanakan sidang penetapan atau isbat. Sidang isbat dimulai sejak 1962 yang kemudian saat ini didukung dengan undang-undang peradilan agama. Di dalamnya ditetapkan, hakim agama itu mengisbatkan kesaksian dan itu kemudian menjadi bahan bagi Menteri Agama menetapkan secara nasional.

    Fungsi Menteri Agama sebagai wakil pemerintah adalah untuk mempersatukan semua metode, semua kriteria, kemudian tentu saja, ketika terjadi perbedaan, mengambil keputusan terbaik di antara pendapat-pendapat yang berkembang di ormas-ormas itu. Tidak mungkin pemerintah melepaskan dan menyerahkan perbedaan itu pada masyarakat dan membiarkan masyarakat kebingungan. Jadi pemerintah dengan masukan-masukan dari para pakar, wakil ormas, kemudian memutuskan dalam sidang isbat itu.

    Suatu saat nanti ketika kriteria hisab dan rukyat ini bisa disepakati, maka keputusan antara rukyat dan hisab insya Allah akan sama. Pada saat itulah, kalau kriteria disepakati, sidang isbat itu tidak diperlukan lagi. Pemerintah sekadar menetapkan dengan membandingkan data hisab dan rukyat pada 29 Sya’ban atau 29 Ramadan. Kemudian dalam forum terbatas, bisa saja Menteri Agama bersama Badan Hisab dan rukyat, tidak harus besar dan terbuka, Menteri Agama bisa langsung memutuskan. Hal itu sebenarnya dilakukan oleh Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan negara-negara lain. Di sana tidak ada ormas-ormas seperti itu. Perbedaan hanya sebatas individu, meski individu itu tidak gampang sebenarnya. Tapi secara hukum negara, otoritas pemerintah memutuskan. Kalau di Arab Saudi Majelis Al-Qodho’ al A’la atau Mahkamah Tinggi yang memutuskan. Di Malayasia ada suatu dewan di bawah kerajaan yang menetapkan itu, di Brunei juga ada semacam otoritas negara yang memutuskan. Di Indonesia ada Menteri Agama untuk memutuskan, tapi karena ada ormas-ormas kemudian mereka diundang untuk musyawarah kemudian memutuskan bersama-sama. Keputusan tetap pada Menteri Agama, tetapi Menteri Agama dengan menerima masukan dari ormas-ormas dan  dari pakar-pakar.


    Apakah perbedaan mazhab digunakan oleh Ormas banyak mempengaruhi?

    Tentu, mazhab itu berpengaruh dalam pemilihan metode dan itu lebih banyak ke perdebatan fiqihnya. Perdebatan fiqihnya sekarang dianggap tuntas, tidak perlu diperdebatkan lagi karena perdebatan fiqih tidak bisa dipersatukan. Yang berpendapat harus rukyat, tidak mungkin diajak untuk hisab. Demikian sebaliknya. Yang sekarang bisa dilakukan, silakan masing-masing menggunakan metode sesuai mazhab fiqih dianutnya. Tetapi sedapat mungkin kriterianya disamakan karena pada dasarnya hisab dan rukyat bisa dipersatukan menggunakan kriteria sama, kriteria visibiltas hilal. Artinya, rukyat tidak bisa murni rukyat, tetap dipandu hisab, praktik rukyat tetap dilakukan. Sementara hisab juga bisa tetap dilakukan dengan metode-metode hisab, tapi kemudian jangan meninggalkan rukyat karena perintah dasar itu adalah dari rukyat. Keduanya bisa dilakukan.

    Selama ini menjadi pokok perbedaan paling besar adalah perbedaan wujudul hilal dan kriteria imkanur rukyat dan ini harus disatukan, ini menyangkut ormas-ormas besar. Walau bukan mewakili mayoritas umat Islam, tapi gaungnya di masyarakat sangat besar sekali. Jadi ketika ada perbedaan antar ormas-ormas besar tentu akan memberikan dampak kebingungan di masyarakat. Peran pemerintah mencari keputusan terbaik di antara sekian banyak perbedaan.

    Memang ada juga perbedaan sifatnya kecil. Seperti kelompok tarekat menggunakan hisab ‘urfi, hisab lama yang diperkenalkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu digunakan, maka menimbulkan perbedaan dengan hisab yang sekarang berkembang apalagi dengan rukyat. Atau ada yang menggunakan metode dengan tanda pasang air laut atau tanda-tanda lain. Perbedaan itu terjadi karena informasi-informasi pembaruan dalam hisab rukyat tidak sampai kepada mereka. Jadi mereka hanya mendasarkan pada ketaatan pada guru, secara turun temurun yang diamalkan terus. Sebenarnya kelompok-kelompok kecil itu tidak berpengaruh signifikan karena mereka melaksanakan itu untuk kalangan internal, tidak diumumkan atau tidak dipublikasikan melalui media. Ketentuan itu hanya berlaku dalam kelompok mereka, jumlahnya puluhan orang dalam satu wilayah atau jika itu antar wilayah jumlahnya tidak begitu banyak.

    Berbeda kalau perbedaan itu terjadi antar ormas-ormas besar karena itu akan berdampak nasional. Anggota mereka tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Perbedaan hisab dan rukyat bisa disatukan dengan kriteria sama.


    Muhammadiyah ingin beda sendiri
    Jika terus berbeda, kenapa tidak membuat kalender Islam resmi versi pemerintah?

    Ada tiga syarat mendapatkan kalender mapan dan itu berlaku untuk semua jenis kalender, baik kalender Islam, Hindu, Budha, Cina, bahkan untuk Masehi. Pertama, harus ada otoritas menentukan. Tanpa otoritas, tidak ada yang menjaga sistem kalender tersebut. Kedua harus ada kriterianya. Kriteria itu mengatur bagimana sistem kalender itu dijalankan. Ketiga, harus ada batas wilayahnya. Bumi kita bulat, tidak mungkin seluruhnya dijadikan satu wilayah waktu, tetap saja ada batasnya.

    Kita sudah sepakat keberlakuan kalender Islam di Indonesia sebagai satu wilayah. Pemerintah Indonesia memiliki otoritas tunggal melalui Menteri Agama yang secara de facto menentukan hari libur. Tinggal satu langkah lagi pada kreterianya. Kriteria itu sebenarnya sejak 1998 selalu diupayakan. Kementerian Agama selalu memfasilitasi ada penyamaan kriteria itu. Tapi yang menjadi masalah, Muhammadiyah selalu ingin berbeda.


    Apa Muhammadiyah memiliki dalil lebih kuat?

    Sebenarnya tidak juga. Dari segi dalil hisab, bukan hanya Muhammadiyah yang pakai. Pesatuan Islam (Persis) juga pakai dalil-dalil hisab seperti itu. Jadi mereka bilang tidak harus menunggu rukyat, dengan hisab mereka bisa menentukan. Yang berbeda adalah ketika menginterpretasikan hasil hisab itu. Menginterpretasikan hasil hisab itu tidak lagi berdasarkan dalil, itu sepenuhnya otoritasnya ilmu falak, otoritasnya astronomi. Itu dari segi interpretasi karena dari segi hasilnya sama. Hisab dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya hasil  hitungannya relatif sama.

    Kalau bersandarkan hisab astronomi modern, hilal awal Ramadan kemarin tingginya kurang dari dua derajat. Itu semua ormas sepakat, kecuali kelompok-kelompok tertentu yang masih menggunakan hisab lama yang  menganggapnya lebih dari dua derajat. Tapi secara umum, secara astronomi modern, sudah positif untuk wilayah Indonesia, tapi kurang dari dua derajat. Yang berbeda cara menyimpulkannya. Muhammadiyah menyimpulkan, asal itu sudah di atas ufuk sudah positif pertanda awal bulan.

    Maka dalam kasus awal Ramadan kemarin, saat magrib pada 19 Juli, ketinggian bulan sudah positif tapi kurang dari dua derajat. Terlalu rendah, tidak mungkin ada rukyat. Tapi Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal itu menyatakan sudah masuk, maka tanggal 20 sudah satu Ramadan atau sejak magrib malam Jumat itu dianggap sebagai 1 Ramadan dan mereka mulai tarawih. Tapi ormas-ormas lain menggunakan imkan rukyat atau visibilitas hilal. Jadi hisab memperhitungkan mungkin atau tidak hilal dirukyat. Karena tinggi bulan sangat rendah kurang dari dua derajat, tidak mungkin untuk dirukyat. Hal itu dibuktikan dengan hasil rukyat, tidak ada kesaksian sahih. Kemudian mereka memutuskan sabtu, 21 Juli, sebagai awal Ramadan.

    Jadi upaya pembuatan kalender Islam dan penyatuan hari besar Islam di Indonesia tinggal selangkah lagi. Tinggal menyatukan kriteria saja. Hal itu sejak lama sudah mulai dilakukan pengkajian-pengkajian. Termasuk juga kesepakatan pada 2007 antara NU dan Muhammadiyah, mengarah pada bagaimana menyatukan kriteria itu. Memang pertemuan 2007 itu belum tuntas. Ada tiga pertemuan pokok yang direncanakan, tapi baru dua yang dilaksanakan.

    Pertama pada Oktober 2007 di kantor PBNU Jakarta, pertemuan kedua pada Desember 2007 di PP Muhammadiyah, Yogyakarta. Tinggal satu langkah lagi untuk menyatukan kriteria seperti apa akan disepakati. Pada pertemuan awal saat itu, Pak Din Syamsuddin dan Pak Hasyim Muzani waktu itu mengupakan menyamakan persepsi. Tinggal satu pertemuan lagi untuk menyamakan persepsi. Persepsi seperti apa terkait kreteria itu dan itu belum terlaksana hingga akhirnya berlarut-larut, perbedaan pun terus terjadi. NU bersama ormas-ormas lain menggunakan kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal, sedangkan Muhammadiayh menggunakan wujudul hilal.


    Apakah ada dampak jika terus berbeda dalam penentuan hari-hari besar Islam?

    Jelas ada dampaknya karena perbedaan dalam penentuan awal Ramadan dan mengakhirinya itu bukan hanya masalah khilafiyah dalam beribadah. Memang menurut  teman-teman di Muhammadiyah, “Ini urusan ibadah, pemerintah jangan mengurusi.” Kalau ibadahnya semacam khilafiyah terkait qunut, masalah ibadah yang sifatnya individu, itu tidak harus dicampuri pemerintah. Tapi dalam hal Ramadan dan mengakhirinya, di dalamnya ada muatan-muatan sosial. Dampak sosialnya besar sekali ketika terjadi perbedaan. Bagi umat Islam perbedaan itu juga berdampak juga pada syiar. Persepsi umat lain terhadap persatuan umat akan terlihat di sana, bahwa umat Islam adalah umat tidak bisa bersatu karena masalah awal Ramadan saja berbeda, mengakhirinya bisa saja berbeda.

    Masalah dampak sosial dan syiar tampak dominan. Pemerintah harus ikut campur di situ memberikan panduan kepada masyarakat mayoritas yang tidak mengikut ormas-ormas itu. Ketika terjadi perbedaan, pemerintah harus mengambil satu keputusan. Menentukan pilihan, mana seharunya yang diambil oleh mayoritas umat yang tidak mengikuti ormas-ormas itu.


    Berapa tahun lagi Muslim di Indonesia bisa bersatu menjalankan ritual-ritual agamanya?

    Sebenarnya tinggal mau bersatu atau tidak. Saat ini perdebatannya bukan lagi masalah dalilnya, bukan lagi perdebatan aspek ilmiah. Tapi apakah kita mau bersatu atau tidak. Intinya di sana, kalau kita mau bersatu, Persis (Persatuan Islam) saja yang menggunakan hisab, bisa bersatu dengan NU dan ormas lainnya. Hasilnya sama, karena kriteria digunakan juga sama, tapi Muhammadiyah ini ingin beda sendiri. Tapi kalau lihat perkembangan sekarang, mereka mau mendialogkan hal itu.


    Ilmu astronomi bisa tentukan awal bulan sesuai dalil rukyat
    Dalam penentuan hari besar Islam sampai mana otoritas ahli fiqih dan ahli astronomi?

    Perdebatan tentang mana yang kuat antara hisab dan rukyat, sampai sekarang tidak bisa dipersatukan. Itu otoritas ahli fiqih atau fuqaha. Tapi ketika sudah mengerucut antara hisab dan rukyat tidak harus dipertentangkan, bisa menggunakan hisab, tapi dengan kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Nah di dalamnya otoritas ilmuwan itu masuk. Untuk menentukan visibilitas hilal itu bukan lagi otoritas fuqaha karena terkait seberapa atau apa saja syarat-syarat hilal itu teramati. Apa syarat-syarat penentuan awal bulan. Itu syarat-syarat astronomis, harus didasarkan pada penelitian-penelitian ilmiah, seperti ilmu hisab juga.

    Jadi otoritas fuqaha, ahli hukum Islam, sudah berhenti pada perdebatan hisab dan rukyat, yang  tidak akan pernah selesai. Sekarang hisab dan rukyat punya potensi bisa dipersatukan dengan hisab didasarkan pada kemungkinan dirukyat. Yang berperan disitu lebih banyak pada otoritas ilmuwannya. Ilmu astronomi mampu menentukan awal bulan sesuai dalil-dalil rukyat. Itu sudah masuk otoritas sains di dalamnya.

    Hal itu belum dipahami bersama, tapi sebagian ormas sudah. Katakanlah Persatuan Islam (Persis). Persis mendasarkan dalil-dalil bolehnya hisab. Itu dalil fiqihnya. Tapi kemudian hisab itu harus dilakukan dengan  menggunakan kriteria visibilitas hilal, maka Persis menanyakan pada astronom.

    Persis mengundang saya untuk menjelaskan seperti apa dalam astronomi. Kemudian saya jelaskan, bedasarkan data-data internasional diusulkan beda tinggi matahari dan bulan bulan minimal 4 derajat, jarak bulan dan matahari minimal 6,4 derajat, itu menjadi pra-syarat hilal bisa teramati. Data itu kemudian dibahas di Dewan Hisbah yang membicarakan hukum, apakah tawaran astronom ini bisa diterapkan. Ternyata itu diterima.

    Dalam internal Persis, ada Dewan Hisab Rukyat yang menyerap informasi dari astronomi.  Kemudian ditafsirkan dalam formulasi yang  bisa dipahami secara hukum dan disampaikan kepada Dewan Hisbah. Persis menggunakan kriteria imkanur rukyat astronomis. Otoritas saintis masuk ketika memberikan pertimbangan. Sampai mana batasan hilal bisa dirukyat. Sedangkan metode mana diambil itulah kewenangan fuqoha.


    Kalau penanggalan Hijriah sering menimbulkan perdebatan, kenapa tidak mengikuti kalender Masehi saja?

    Kalender Masehi juga sama pernah mengalami perbedaan dan kalender Masehi sudah berevolusi lebih dari dua ribu tahun. Sebenarnya sama saja dengan kalender Hijriah, tetap memiliki perbedaan. Kalender Masehi pernah mengalami perbedaan sangat tajam karena kriterianya berbeda.

    Sampai 1752 Inggris masih menggunakan kriteria Julius, sedangkan di Roma menggunakan Gregorius berdasarkan astronomi. Pada waktu itu perbedaan Natal 12 hari. Di Ingrris sudah Natal pada 25 Desember, tapi di hari yang sama di Roma masih 13 Desember. Tapi kemudian mereka bisa menyepakati kriteria Gregorius untuk mengatasi perbedaan itu.

    Inggris kemudian berbesar hati meninggalkan kriteria lama, mengikuti kriteria Gregorius. Perubahan kreteria itu menimbulkan gejolak di Inggris. Untuk melompat 12 hari itu bukan hal mudah. Mereka harus menghilangkan 11 hari dalam sistem kalendernya. Tapi itu kemudian bisa diselesaikan.

    Masalah garis tanggal juga mengalami proses lama, sampai 1825 garis tanggal internasional baru disepakati. Dalam implementasinya, Rusia masih menggunakan kriteria Julius sampai kira-kira 1920-an. Kalau kalender Masehi itu sudah dianggap mapan karena tiga syarat sudah terpenuhi. Otoritas sudah ada, batas wilayah, dan kriteria sudah disepakati. Kalender Hijriah pun bisa, tidak harus mengikut kalender Masehi. Kalender Masehi pun dulu mengalami banyak masalah, tapi bisa diselesaikan bertahap.

    Sistem kalender itu didasarkan pada sistem nilai yang mendasari. Untuk kegiatan-kegiatan bersifat ritual, penetuan hari itu sangat diperlukan dan paling cocok adalah kalender bulan. Dengan lunar kalender, pergantian hari bisa diikuti secara jelas dan penentuan harinya bisa lebih pasti. Misal sekarang 25 Juli, tidak ada tanda-tanda di alam yang bisa membedakan antara 25 Juli dengan 26 Juli, atau dengan 24 Juli sebelumnya. Tapi kalender bulan bisa.

    Hindu menggunakan Hari Raya Nyepi berdasarkan bulan mati karena sebelum hari masih terlihat bulan sabit pada waktu pagi. Sesudah itu terlihat bulan sabit saat magrib. Jadi bulan mati itu sebagai penentu. Budha,untuk Hari Raya Waisak menggunakan purnama untuk penentu. Sedangkan kalender Cina, itu sama menggunakan bulan mati, hanya Cina itu digabung dengan matahari sehingga tahun baru Cina atau Imlek sekitar Januari atau Februari karena gabungan dengan solar calendar atau kalendar matahari.

    Umat Kristiani juga menggunakan kalender bulan untuk penentuan hari yang sifatnya ritual. Hari Raya Paskah adalah hari minggu pertama sesudah 21 Maret selepas bulan purnama. Jadi Hari Paskah itu akan berganti tanggalnya tiap tahun dalam Kalender Masehi karena menyesuaikan bulan purnama. Berbeda dengan Natal. Itu bukan terkait ritual, lebih banyak ke arah seremonial dan Natal itu bukan diambil dari tradisi Kritiani, itu diambil dari tradisi pagan Eropa, kelahiran Dewa Matahari. Untuk hal-hal tertentu, Kristiani menggunakan bulan juga.

    Artinya, standar penanggalan Islam, Hindu, Budha, memggunakan kalender bulan karena ritual-ritual bersifat hari lebih mudah ditentukan dengan bulan. Ada perbedaan di alam antara tanggal satu, tengah bulan, atau akhir bulan. Jadi tidak mungkin akan pindah ke kalender matahari karena semua agama menggunakan kalender bulan terkait hari ritual keagamaan.


    Bagaimana dengan penyatuan kalender Islam sedunia?

    Terkait kalender global, ini menjadi cita-cita bersama. Tetapi kalender itu bukan sekadar konsep, lebih penting adalah implementasinya. Implementasi mau tidak mau menyangkut kesepakatan dari otoritas-otoritas negara. Di tiap negara ada yang menentukan sistem kalender mereka. Saat membuat kalender untuk diberlakukan secara global, maka dua hal utama harus dilakukan. Pertama, rumusan konsep. Dalam hal ini, banyak konsep ditawarkan. Kedua, ini paling sulit, menyepakati konsep mana akan diambil.
    Konsep itu ada yang murni mendasarkan pada astronomi. Kalau murni pada astronomi itu bisa saja. Suatu wilayah yang sama garis bujurnya berbeda tanggal hijriahnya karena memang ketampakan hilal, termasuk visibiltas hilal secara hisab memang bisa berbeda. Garis tanggalnya berbeda dengan garis tanggal matahari. Indonesia bisa saja berbeda dengan Malaysia kalau garis tanggalnya memisahkan Indonesia dengan Malaysia. Itu kalau murni Astronomi. Tapi dalam implementasinya, tentu garis tanggal astronomi bisa saja dibelok-belokkan, mengikuti kesepakatan.

    Di regional Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura sudah memiliki kesepakatan untuk menggunakan kriteria yang sama. Walau dalam implementasinya sering berbeda meski memiliki kriteria sama, yakni 2-3-8 itu, tinggi bulan minimal dua derajat, jarak matahari dan bulan tiga derajat, dan umur bulan delapan jam. Seperti perbedaan dalam penentuan Idul Fitri 1432 lalu.

    Indonesia mendasarkan jika kriteria dua derajat itu tidak terpenuhi, maka yang lain tidak terpenuhi.  Brunei Darussalam menggunakan kriteria “2-3-8” dalam kalendernya, tetapi meraka tetap harus melakukan rukyat dalam keputusan awal dan akhir Ramadan. Malaysia menggunakan kriteria 2-3-8, tapi mendasarkan bisa pada salah satu itu. Misalnya pada penentuan Sayawl tahun lalu, pada waktu itu Malaysia menganggap umur bulan sudah di atas delapan jam. Maka dianggap sudah masuk, sehingga awal Syawlnya  mendahului Indonesia.  Jadi kriteria sama, dalam implementasinya bisa saja berbeda.

    Kalau kita menerapkan untuk kalender berlaku global, kesepakatan harus diangkat ke tingkat global. Forum-forum semacam Organisasi Konferensi islam (OKI), bisa dijadikan perantara. Tapi pada prinsipnya kalau itu disepakati bisa saja.

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Silahkan tinggalkan pesan disini

    DAFTAR SEKARANG

    Pendaftaran Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Itqon Patebon, Kendal Tahun Pelajaran 2023/2024 Daftar Sekarang, Kuota Terbatas.

    ALAMAT

    Kebonharjo RT 3 RW 2 Patebon Kendal Jawa Tengah

    EMAIL

    spmalitqon@gmail.com
    mak.alitqon@gmail.com

    TELEPON

    0813-1111-9337

    WHATSAPP

    0813-1111-9337