Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah, Malang
Suaranya lantang,
badannya yang tegap. Jubbah dan sorban yang dikenakannya semakin
menambah kewibawaanya. Sorot matanya tajam dan penuh makna. Jenggot
lebatnya menutupi leher. Pribadinya yang tawadhu’, santun serta
akrab dengan siapapun, namun tegas dan penuh wibawa. Itulah sosok
fisik ulama ahli hadis yang satu ini.
Ia adalah Prof. DR.
al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih. al-Habib Abdullah bin
Abdul Qadir Bilfaqih merupakan tokoh ulama yang tegas dalam memegang
prinsip-prinsip ajaran Islam, yang berazaskan al-Qur'an dan Sunnah
Nabi Muhammad saw,
serta ajaran
yang telah digariskan oleh para leluhurnya.
Nasab
al-Habib Abdullah Bilfaqih
Nasab beliau adalah:
al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Abdurrahman bin
Muhammad al-Faqih bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin
Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib bin
Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah
az-Zahra binti Rasulullah saw.
Kelahiran
al-Habib Abdullah Bilfaqih
al-Habib Abdullah lahir
di Kota Surabaya pada tanggal 12 Rabiul Awal 1355 H, yang bertepatan
dengan 1 Juni 1936 M, ayahnya adalah al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad
Bilfaqih, seorang tokoh pendidik dan guru yang sejati, ia merupakan
ulama yang sangat menguasai dalam ilmu hadis dan menjadi rujukan umat
di zamannya. Sedangkan ibunya adalah asy-Syarifah Ummi Hani binti
Abdillah bin Agil.
al-Habib Abdullah
merupakan seorang ulama pakar dalam ilmu hadis. Ia adalah putera dan
khalifah tunggal dari ayahnya, al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad
Bilfaqih yang merupakan pendiri
Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah Li Ahlussunnah wal jama’ah,
yang berdiri pada 12 Rabiul Awwal 1364 H, bertepatan dengan 12
Februari 1945 M di Kota Malang, Jawa Timur.
Pesantren ini telah
melahirkan para ulama yang bertebaran menyebarkan Islam di segenap
pelosok nusantara. Sebagian dari mereka mengikuti jejak langkah
gurunya dengan membuka pondok pesantren, madrasah ataupun majelis
taklim demi menyiarkan dakwah islam dan ilmu agama.
Ayah dan anak sama-sama
ulama besar, sama-sama ahli hadis, sama-sama pendidik ulung dan
bijak. Merekalah al-Habib Abdul Qadir dan al-Habib Abdullah. Begitu
besar keinginan sang ayah untuk ‘mencetak’ anaknya menjadi ulama
dan ahli hadis untuk mewarisi ilmunya. Akhirnya oleh Allah swt
dikabulkanlah keinginan al-Habib Abdul Qadir tersebut.
Sebelum dikaruniai
putera, al-Habib Abdul Qadir menunaikan ibadah haji dan berziarah ke
Makam Rasulullah saw
di Kota Madinah.
Di sana beliau memanjatkan do’a khusus kepada Allah swt agar
dikaruniai putera yang kelak tumbuh sebagai ‘alim yang mengamalkan
ilmunya dan menjadi seorang ahli hadis. Selang beberapa bulan do’a
itupun dikabulkan oleh Allah swt.
Lahirlah seorang putera
yang dinanti-nantikannya tersebut, kemudian diberi nama Abdullah.
Sesuai dengan do’a yang dipanjatkan di hadapan makam Rasulullah
saw,
maka al-Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk
mendidik buah hati yang dinanti-nantikannya itu. Pendidikan yang
diberikan sang ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih kecil ia
sudah menampakkan kecerdasan dan bakat sebagai ahli hadis.
Masa
belajar sang maestro hadis
Sejak kecil ia berada
dibawah asuhan dan bimbingan ayahandanya. Antara keduanya terdapat
keseimbangan, yaitu ketekunan sang guru
(Ayahandanya, yaitu al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih.)
dalam mengajar dan kegigihan sang murid
(al-Habib Abdullah.)
dalam mengikuti petunjuk dari sang guru serta dalam menuntut ilmu.
Selain kepada ayahandanya beliau juga belajar kepada al-Habib Ali bin
Husein al-Attas di Jakarta, yang dikenal dengan sebutan Habib Ali
Bungur, seorang ‘alim dan sebagai tokoh ulama yang menjadi rujukan
para ulama dizamannya.
Keuletan dan kegigihan
al-Habib Abdullah dalam menimba ilmu amatlah sulit dicari
tandingannya. Siang dan malam waktunya hanya dipergunakan untuk
belajar. Sang ayah benar-benar melihat semangat anaknya ini dalam
belajar.
“Sesungguhnya ilmu
itu diperoleh dengan belajar.”
Hadis inilah yang menjadi motifasi serta pendorong al-Habib Abdullah
bin Abdul Qadir Bilfaqih dalam mencari ilmu dan menyebarkan dakwah
Islamiyah.
al-Habib Abdul Qadir bin
Ahmad Bilfaqih pernah mengatakan: “Aku
telah mewariskan kepada puteraku ini empat puluh satu cabang ilmu
agama.”
Karenanya, tidaklah mengherankan jika pada usia 7 tahun, al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih sudah mampu menghafal al-Qur’an
dan pada usia sekitar 20 tahun ia telah mampu menghafal Kitab Hadis
Bukhari dan Muslim lengkap dengan matan serta sanadnya yang
bersambung hingga Rasulullah saw.
Hal ini bukan terjadi
secara kebetulan tanpa adanya suatu usaha. Melainkan adanya usaha
yang seimbang antara sang ayah dan puteranya itu. al-Habib Abdul
Qadir bin Ahmad Bilfaqih, sang ayah yang juga sebagai maha guru
tunggal al-Habib Abdullah Bilfaqih, telah mengerahkan segala daya dan
upaya untuk memimbing dan mendidik serta mengantarkan sang putera ini
menjadi seorang ulama yang ilmunya bermanfaat serta dapat
menggantikan peranan dan dakwah sang ayah.
Namun di sisi lain sang
putera yang selaku murid ini mengimbanginya dengan semangat belajar
yang tinggi, ulet, tekun dan rajin. Maka imbanglah antara upaya sang
ayah dalam mendidik dan kemauan serta semangat belajar sang putera.
Kemudian al-Habib
Abdullah menempuh pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di
Lembaga Pendidikan at-Taraqqi yang berada di Kota Malang. Di madrasah
itu pula, al-Habib Abdul Qadir mengajar. Setelah menyelesaikan
pendidikan di tingkat ibtidaiyah, kemudian ia melanjutkan ke
tingkatan madrasah aliyah di Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren
Darul Hadits al-Faqihiyyah di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai murid, semangat
belajarnya sangat tinggi. Teman-teman sebayanya mengenal al-Habib
Abdullah sebagai kutu buku. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab.
Gara-gara terlalu kuat dalam belajar, ia pernah jatuh sakit. Meskipun
begitu, hal itu tidak membuatnya berhenti belajar, walaupun dalam
keadaan seperti itu ia tetap saja belajar dan belajar.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa seorang muslim sejati adalah mereka yang mencintai
ilmu, ia selalu merasa haus akan ilmu. Sehingga selalu berusaha
belajar dan memperdalam ilmu-ilmu agama dalam mengisi hidupnya.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh al-Habib Abdullah bin Abdul
Qadir Bilfaqih: “Tidaklah
seseorang dikatakan hidup apabila ia tidak berilmu.”
Tentunya ucapan tersebut bukan sekedar ucapan yang diucapkan begitu
saja, melainkan merupakan cerminan dari kehidupannya yang selalu
dilandasi dengan ilmu.
Sebagaimana sabda
Baginda Nabi Muhammad saw
yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tabrani dan al-Imam Ibnu Abdil Baar
dari Sahabat Ibnu Abbas, yang artinya: “Barangsiapa
oleh Allah dikehendaki memperoleh suatu kebajikan, maka ia akan
diberi kefahaman dalam agama.”
Seorang
ulama ahli hadis
al-Habib Abdul Qadir
sang ayah menginginkan agar puteranya kelak mewarisi ilmu yang
dimiliki al-Habib Abdul Qadir. Maka dari itu al-Habib Abdul Qadir pun
berusaha keras mendidik sang anak agar menjadi seorang yang ahli
dalam ilmu hadis. Wajarlah jika dalam usia relatif muda, ia telah
menghafal kitab-kitab induk dalam ilmu hadis.
Diantaranya kitab-kitab
yang dipelajarinya adalah, Kitab
Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Musnad
al-Imam asy-Syafi’i, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, Muwatha’
karya al-Imam Malik, an-Nawadirul Ushul karya al-Imam Hakim
at-Tirmidzi, al-Mu’jam ats-Tsalats karya Abul Qasim ath-Thabrani.
Semua itu telah dihafalkannya dengan baik.
Tidak hanya sekedar
menghafal hadis, al-Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah
hadis, yaitu
ilmu yang mempelajari hal ihwal hadis berikut para perawinya. Juga
ilmu rijalul
hadis, yaitu
ilmu tentang para perawi hadis. Ia juga menguasai Ilmu jarh
wa ta’dil
(Kriteria hadis yang dapat diterima sesuai persyaratan ilmu hadis.)
dengan mempelajari Kitab
at-Taqrib at-Tahzib
karya al-Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, al-Mizan
at-Ta’dil
karya al-Hafidz adz-Dzahabi.
Dari kecerdasan dan
keluasan al-Habib Abdullah dalam ilmu hadis, maka ia mendapat gelar
Honoriscausa sebagai Doktor dan Profesor. al-Habib Abdullah bin Abdul
Qadir Bilfaqih menerima gelar Doktor Honoriscausa dalam bidang ilmu
hadis dari al-Azhar, Cairo, Mesir, sedangkan gelar Profesor
Honoriscausa dari al-Jama’ah, Lahore, Pakistan, serta dari
Darunnadwah, Locnow, India pada tahun 1970 M.
Gelar tersebut
diberikan, karena memang pantas disandang dengan melihat kepakarannya
dalam ilmu hadis. Setiap ia menyampaikan hadis-hadis Rasulullah saw
selalu disebutkan
pula sanad dan perawinya. Maka tidak berlebihan jikalau ia menyandang
sebagai muhaddis
di zamannya.
Seorang
pendidik sejati
Selain dikenal sebagai
ulama yang ahli dalam ilmu hadis, al-Habib Abdullah juga mumpuni
dalam berbagai disiplin keilmuan lainnya, terutama dalam ilmu tasawuf
dan fikih. Semua itu ia pelajari langsung dari ayahandanya. Dalam
ilmu fikih ia mempelajari kitab fikih empat madzhab,
(Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.)
termasuk kitab-kitab fikih lainnya, diantaranya adalah: Fatawa
al-Imam Ibn Hajar, Fatawa al-Imam Ramli dan al-Muhadzab al-Imam
an-Nawawi.
Setelah kewafatan
al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, pada 19 November 1962 M,
yang bertepatan pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1382 H, maka al-Habib
Abdullah yang menggantikan semua kegiatan yang telah dirintis oleh
ayahnya. Baik sebagai pengasuh Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren
Darul Hadis al-Faqihiyyah, muballigh, maupun pengajar.
Selain itu, ia juga
melanjutkan semua kegiatan majelis taklim yang pernah diselenggarakan
ayahandanya, baik majelis yang bersifat umum maupun majelis yang
bersifat khusus. Yang bersifat khusus adalah kegiatan thariqah
yang
diselenggarakan Hari Ahad minggu pertama dan ketiga yang bertempat di
Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah Malang.
Kemangkatan ayahandanya
bukan menjadi lemahnya semangat dan larut dalam kesedihan yang
berkepanjangan serta menjadikannya putus asa. al-Habib Abdullah
sangat sadar, bahwa warisan yang akan diembannya membutuhkan
perhatian yang serius. Tak satupun kegiatan yang pernah dilakukan
oleh ayahandanya dirubah atau dikurangi, namun apa-apa yang telah
dikerjakan dan dilakukan oleh ayahandanya dilanjutkan serta ditumbuh
kembangkan dengan baik dan sempurna.
Selain menjabat sebagai
pengasuh Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Hadis
al-Faqihiyyah Malang. Ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik
di lembaga keagamaan maupun di sektor sipil pemerintahan, diantaranya
sebagai penasehat Menteri Penghubung Alim Ulama, penasehat ahli
Menteri Kesra.
(Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.) Dalam
bidang fatwa agama, ia diangkat sebagai Mufti
Lajnah Iftassyari’i
dan sebagai dosen ahli pada mata kuliah tafsir dan hadis di IAIN dan
IKIP di Kota Malang.
Ia adalah seorang ulama
yang sejati. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang yang
mengundangnya. Mulai dari kalangan atas, menengah, hingga kalangan
bawahpun ia penuhi. al-Habib Abdullah selalu berusaha untuk memenuhi
acara dakwah, meskipun harus ke daerah pelosok yang sulit dijangkau
sekalipun, akan dipenuhinya. Bahkan tidak jarang ia berdakwah
kepelosok dengan berjalan kaki. Begitu tingginya semangat dan
perjuangan yang dimilikinya dalam menyebarkan Agama Allah dan
Rasul-Nya.
Ia ikhlas dalam
berdakwah. Ia berlaku demikian tak mengharap sesuatu apapun kecuali
ridha Allah swt
dan Rasul-Nya.
Semua itu dilakukannya tanpa mengenal lelah. Bahkan sewaktu sakit
pun, ia masih berkeinginan keras untuk tetap mengajar. Menurutnya
dengan tetap mengajar akan dihilangkan semua penyakitnya. Ia minta
kesembuhan dari Allah swt
dengan mengajar.
Karenanya, jika mengajar rasa sakitnya akan tertutupi dengan melihat
keceriaan para muridnya.
Sebagai guru, ia sangat
memperhatikan anak didiknya. Sampai hal yang remeh pun ia perhatikan.
Setiap malam, sebelum menunaikan Shalat Tahajjud, ia selalu
mengontrol para murid yang sedang tidur. Jika melihat selimut
muridnya yang tersingkap, ia yang membetulkannya tanpa sepengetahuan
si murid tersebut. Jika ada murid yang sakit, ia segera memberikan
obat, jika sakitnya serius, ia memerintahkan salah seorang untuk
mengantarkannya ke dokter.
Dakwahnya
Dalam berdakwah, ia
mengajak umat agar selalu menanamkan rasa cinta yang mendalam kepada
Allah swt dan Rasul-Nya serta selalu menerapkan ajaran yang telah
dibawa oleh Rasulullah saw. Pribadi al-Habib Abdullah sangatlah
mulia, kharismatik dan sangat disiplin dalam menyikapi masalah hukum
agama tanpa tawar-menawar. Sikapnya selalu tegas, yang haq tetap
dikatakannya haq, yang batil tetap dikatakannya batil tanpa pandang
bulu siapapun itu.
Sikap konsisten
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan
kepada umat, tapi juga kepada para pejabat pemerintah. Pada setiap
kesempatan, terutama pada acara peringatan hari-hari besar nasional,
al-Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun, baik
diatas mimbar maupun tulisan di artikel surat kabar.
Selain mengajar di
Pesantren Darul Hadis, al-Habib Abdullah juga melakukan perjalanan
dakwah, baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan dakwahnya di
daerah-daerah di Tanah Air meliputi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, DKI Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara dan masih
banyak lagi.
Sedangkan daerah
dakwahnya di luar negeri meliputi: Malaysia, Singapura, Brunai
Darussalam, India, Pakistan, Mesir, serta negara-negara di Kawasan
Afrika. Dalam berdakwah semata-mata dilakukan untuk mengemban tugas
untuk menyampaikan ajaran Allah swt dan Rasul-Nya.
Dengan didukung
kemampuan yang sangat mumpuni, al-Habib Abdullah memiliki gaya yang
khas dalam penyampaian ceramahnya. Metode ini dilakukannya
semata-mata agar para audiens
(Para pendengar.)
faham dan mengerti akan materi yang sedang disampaikannya.
al-Habib Abdullah adalah
seorang ulama dan mubaligh yang cerdik, karena ia dapat menyesuaikan
diri dengan situasi dan kondisi ummat yang sedang dihadapinya. Sebab
mubaligh yang berhasil adalah, manakala ia dapat menganalisa para
pendengarnya dan dimana ceramah itu disampaikan.
Apabila ia sedang
berceramah dikomunitas orang-orang Madura, maka ia akan berceramah
menggunakan Bahasa Madura. Apabila yang dihadapinya tersebut banyak
dari kalangan masyarakat Jawa, maka ia menggunakan Bahasa Jawa yang
halus.
Jika ia berceramah
dikhalayak yang disitu banyak terdiri dari beberapa kalangan, maka ia
menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Manakala ia
berkhutbah dikalangan yang disitu tidak mengerti Bahasa Indonesia,
maka ia menyampaikannya dengan menggunakan Bahasa Arab. Tujuannya
hanyalah agar mereka faham apa-apa yang disampaikannya.
Dalam setiap ceramahnya,
ia selalu mengajak umat Islam agar meningkatkan mutu pengamalan
ajaran agama. Taat kepada perintah Allah swt dan menjauhi segala
bentuk larangan-Nya. Ia juga selalu mengingatkan agar umat Islam
terus meningkatkan komunikasi dengan Allah swt dan Rasul-Nya.
(Maksudnya adalah, selalu mengerjakan shalat tepat pada waktunya,
yang ditambah dengan shalat-shalat sunnah, selalu berdzikir menyebut
Asma Allah swt serta selalu mengingat Allah swt dan Rasul-Nya
dimanapun kita berada, membaca shalawat kepada Rasulullah saw, dan
masih banyak lagi yang dapat kita gunakan sebagai media untuk
berhubungan antara kita dengan Allah swt dan Rasul-Nya.)
Begitu pula pada akhir
setiap ceramahnya, ia mengajak kepada hadirin untuk selalu mengingat
kepada Sang Maha Pencipta swt dan Baginda Nabi Muhammad saw sambil
meneteskan air mata, mengingat lumuran noda dan dosa yang telah kita
perbuat. Serta mengingatkan bahwa hidup ini hanya bersifat sementara
dan semua manusia akan meninggalkan alam dunia serta akan dimintai
pertanggung jawabannya oleh Allah swt atas segala hal yang pernah
diperbuatnya di alam dunia ini. Dapat disimpulkan bahwa ia selalu
mengajak umat untuk masuk menuju pintu taubatan
nasuha.
(Taubat dengan sebenar-benarnya taubat.)
Penulis
yang produktif
al-Habib Abdullah juga
aktif sebagai penulis artikel yang produktif di berbagai media cetak
dalam negeri, diantaranya: Harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita,
Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Selain itu, ia
juga menulis di beberapa media luar negeri, diantaranya adalah:
al-Liwa’ul Islami
yang terbit
di Mesir, al-Manhaj
yang terbit
di kawasan Arab Saudi, at-Tadhammun
yang terbit di Mesir, Rabithah
‘Alam al-Islami
yang terbit di Makkah, al-‘Arabi
yang terbit di Makkah, al-Madinatul
al-Munawwarah
yang terbit di Madinah, al-Wihdah,
al-Jundi, al-Wa’yu al-Islami,
serta masih banyak lagi.
Diantara karya al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih adalah:
- Siapakah Ahlussunnah wal jama’ah?
- Mengapa umat Islam menerima Pancasila?
- Islam dan Tanda-tandanya, Iman serta bagian-bagiannya.
- Majmu’atul Fatawa Wal Buhuhts al-Islamiyyah.
- Irghamul Balid Fi Akhkamil Ijtihad Wataqlid.
- al-Qaulurrasyiin Fi Adillatittalqin.
- al-Mulhah.
- Tanwirul Ghayahib.
- Fatwa Maulid.
- Serangkum Khutbah.
- Hijrah adalah Kunci Sukses Bagi Pembangunan Moril dan Materiil. (Merupakan salinan naskah Pidato al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang ditayangkan secara regional di RRI Surabaya pada 15 Februari 1972 M, dalam menyambut Tahun Baru Hijriah 1392 H.)
- Puasa Merupakan Mental Training dan Pendidikan. (Tulisan artikel al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang dimuat di Harian Agkatan Baru pada hari Kamis 5 November 1970 M.)
- Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw Perlambang Keagungan Ilahi. (Tulisan artikel al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang dimuat di Harian Bhirawa pada Hari Selasa 16 April 1985 M.)
Pengabdiannya
terhadap Tanah Air dan bangsa
Ia tidak pernah condong
kepada salah satu pihak saja, namun semua pihak dirangkul dan
diayomi. Ia berpendapat, apabila condong kepada salah satu pihak
saja, maka yang terjadi akan meresahkan dan semakin mengkotak-kotak
umat. Sebab ulama yang sejati adalah mereka yang memegang prinsip
secara tegas dan membawa umat menuju persatuan dan kesatuan guna
mengantar mereka ke jalan Allah swt dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan negara
ini, ia sering kali mengatakan: “Jadilah
seorang Pancasilais yang muslim dan jadilah sosok muslim yang
Pancasilais.”
Hal tersebut pernah dimuat dalam salah satu artikelnya dalam harian
surat kabar yang berjudul ‘Mengapa Umat Islam Menerima Pancasila?’
al-Habib Abdullah
Bilfaqih adalah seorang tokoh ulama yang selalu melakukan kerjasama
positif yang harmonis dengan para umara’
(Para pejabat pemerintahan.)
untuk bersama-sama membangun masyarakat Indonesia yang seutuhnya,
guna tercapainya masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh Allah
swt.
Sehingga tercapainya Baldatun
Tayyibatun Wa Rabbun Ghafur
sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an.
Ia selalu menekankan
pentingnya hubungan yang harmonis antara ulama dan umara’, agar
keduanya selalu berjalan bersama-sama dalam membangun bangsa dan
negara ini. Ia berpandangan bahwa ulama dan umara’ harus dapat
menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya secara benar, maka
dengannya akan tercapai segala yang dicita-citakan oleh seluruh
Bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad saw,
yang artinya: “Dua
golongan dari umatku, apabila keduanya mampu menjalin hubungan dengan
harmonis, maka umat akan menjadi baik. Namun apabila keduanya tidak
dapat menjalin hubungan dengan baik, maka umat akan hancur. Kedua
golongan tersebut adalah ulama dan umara’.”
Demi mashlahat
umat, al-Habib
Abdullah tidak segan-segan mengkritik dan memberi masukan kepada para
pejabat pemerintah. Oleh sebab itu ia ditunjuk sebagai penasehat ahli
Menkokesra dan atas permintaan dari pemerintah, ia juga ikut serta
membina beberapa majelis di beberapa departemen pemerintahan, baik di
sektor sipil maupun TNI.
Salah satunya ia membina
kajian ‘Moral dan Spiritual Umat.’ Kajian ini tujuannya adalah
demi tercapainya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya lahir dan
batin serta demi kelangsungan pembangunan bangsa dan Negara Republik
Indonesia.
Pernah dalam salah satu
ceramah al-Habib Abdullah Bilfaqih pada saat HUT
(Hari Ulang Tahun.)
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-28, yang bertepatan pada
14 Agustus 1973 M, yang disiarkan secara langsung di RRI dan dapat
disimak pendengar di seluruh Indonesia.
Ia menceritakan dan
mengupas tuntas tentang perjuangan para pahlawan sebelum kemerdekaan
hingga sejarah proklamasi dan juga menjelaskan peranan serta tanggung
jawab antara ulama dan umara’. Pidato tersebut disampaikan dengan
tema ‘Amalkan Amanat dan Wasiat Para Pejuang Kemerdekaan Republik
Indonesia.’
Ia menginginkan bangsa
ini sebagai bangsa yang bermartabat. Oleh karenanya, ia selalu
mengingatkan bahwa pemuda-pemuda sekarang adalah pemimpin yang akan
datang, maka dari itu hendaklah para pemuda mengisi masa mudanya
dengan menuntut ilmu agama dan melaksanakan ibadah dengan benar
sebagai modal untuk mengenal dan mencintai Allah swt serta Rasul-Nya.
Karena menurutnya, maju mundurnya suatu bangsa dapat dilihat
bagaimana pemudanya saat ini.
Pernah dalam sebuah
ceramahnya pada peringatan HUT berdirinya Lembaga Pendidikan Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah Malang pada tahun 1985 M,
al-Habib Abdullah Bilfaqih mengatakan bahwa sebagian para pemuda di
negeri ini sudah mulai meninggalkan ajaran agama serta semakin jauh
dari Allah swt dan Rasul-Nya.
Ia mengatakan:
“Negara-negara
di luar kagum dengan kemajuan Bangsa Indonesia dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kedokteran dan lain-lain. Namun semua itu
yang amat disayangkan, mulai menjalarnya wabah narkotika dikalangan
pemuda-pemudi kita di bumi pertiwi ini. Saya menghimbau kepada para
ulama, aparat negara, dan orang tua agar menyelamatkan mereka dari
hal tersebut. Karena sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab
atas hal ini.”
(Dimuat
di harian Pelita pada Senin 25 Maret 1985 M.)
Akhlak
dan perilaku al-Habib Abdullah Bilfaqih
Akhlak dan perilakunya
meneladani Rasulullah saw. Setiap orang yang mengenalnya, pasti akan
melihat keindahan akhlak dan budi pekertinya. Ia adalah seseorang
yang dalam dirinya terkumpul antara ilmu dzahir dan batin. Seseorang
yang dipenuhi bejana ilmu, namun akhlak dan budi pekertinya sangatlah
luar biasa. Pernah dalam sebuah kesempatan, ia mengatakan:
“Seandainya
aku dapat bersujud di bawah bumi, sungguh itu akan aku lakukan.”
Rumahnya selalu terbuka
lebar bagi mereka semua yang datang berkunjung. Tamu-tamu terus
berdatangan, baik mereka yang ingin bertanya, meminta ijazah, bahkan
para pejabat pemerintahan pun datang meminta arahan dan pendapat
kepadanya. Tidak sedikit para ulama dalam dan luar negeri datang
kepadanya untuk saling tukar menukar sanad hadis dan ijazah. Tidak
jarang ia menyuguhkan hidangan langsung kepada para tamunya.
Dikisahkan oleh salah
seorang murid dekatnya, bahwa pada suatu hari ada seorang tamu yang
bermaksud menguruskan surat tanah miliknya. Setelah menjelaskan
panjang lebar, intinya tamu itu meminta sejumlah uang untuk
pengurusan surat tanah tersebut. Lalu al-Habib Abdullah memberikan
sejumlah uang yang diminta oleh tamu tersebut. Setelah itu, sang tamu
itupun memohon diri, dengan hormat dan senyum ramah al-Habib Abdullah
pun mempersilahkan tamu itu pulang.
Setelah tamu itu pergi,
al-Habib Abdullah berkata kepada muridnya, bahwa tamu tadi telah
menipunya. Begitulah kepekaan mata batinnya, walaupun ia mengetahui
tamunya tadi bermaksud jahat, namun ia tetap menghormatinya. Karena
ia berprinsip, tamu itu wajib mendapat penghormatan dari shahibul
bait.
(Pemilik rumah.)
Betul apa yang telah dikatakan oleh al-Habib Abdullah, bahwa tamu
tadi tidak pernah muncul lagi dan surat yang dimaksud pun tidak
kunjung datang.
Diantara
amalan al-Habib Abdullah Bilfaqih
Ia adalah seorang hamba
yang dekat dengan Tuhannya. Tidak ada waktu yang terlewat tanpa diisi
dengan ibadah. Ibadahnya telah mencakup ibadah dzahir dan batin. Ia
merupakan ulama yang benar-benar memegang teguh hukum yang telah
ditetapkan Allah swt
dan Rasul-Nya.
Sebagaimana ayahandanya, jangankan perkara yang haram, yang makruh
pun tidak ia lakukan.
Prinsipnya dalam menjaga
syari’at ini betul-betul diperhatikan dan selalu dipegang teguh.
Tak hanya bagi dirinya, bahkan itu juga ia terapkan pagi para murid
didiknya. Ia selalu menekankan kepada para muridnya agar tidak
melihat wanita yang bukan muhrimnya, karena itu merupakan perbuatan
haram dan dosa.
Bagi para murid yang
melanggar akan hal ini maka ia akan memberikan peringatan dan sanksi
yang tegas. Begitu pula ia akan marah serta memberikan sanksi yang
berat bagi para murid yang terlambat menunaikan Shalat
Subuh (Hingga terbitnya matahari.) dan
perkara-perkara lain yang menyalahi aturan agama.
Ia berbuat semacam ini
semata-mata sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang terhadap para
muridnya. Tujuannya agar para murid benar-benar dapat menerapkan
syariat agama yang telah diajarkan kepada mereka. Perhatian yang
sangat besar dan keseriusan dalam mendidik para muridnya, membuat
para santri dapat benar-benar melaksanakan hukum-hukum agama yang
telah ditetapkan oleh Allah swt
dan Rasul-Nya.
Ia menginginkan agar
para santrinya itu dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.
Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu
Syeikh dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw
bersabda, yang artinya: “Orang
yang berilmu adalah orang yang mampu mengamalkan ilmunya.”
Shalat sunnah baginya
merupakan shalat yang wajib. Ia tidak pernah meninggalkan
shalat-shalat sunnah yang telah dianjurkan dan dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Ditengah malam ia selalu istiqamah menjalankan
Shalat Tahajjud, membaca al-Qur’an, membaca shalawat, mendo’akan
para murid-muridnya, serta menulis artikel-artikel keagamaan.
Ia selalu menggunakan
waktu malamnya untuk ‘mengetuk pintu Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Pemberi,’ yang mana hal ini ia lakukan hingga akhir hayatnya.
Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim:
“Shalat yang
paling utama setelah shalat lima waktu adalah shalat pada pertengahan
malam.”
Juga hadis yang
diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi dan al-Imam Ibnu Dunya: “Yang
paling mulia dari umatku adalah mereka yang menghafalkan al-Qur’an
dan yang selalu menghidupkan malam-malamnya untuk beribadah kepada
Allah.”
Kecintaannya
terhadap Rasulullah saw
Hubungan al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih dengan Baginda Rasulullah saw bukan
hanya faktor nasab saja, melainkan sebuah petunjuk dan ‘inayah
Allah swt
yang
memberikan ma’rifat
(Pengenalan yang sangat mendalam.)
kepada hamba yang telah dipilih-Nya.
Sebagaimana sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Sahabat Abdullah bin
Umar: “Belum
dikatakan beriman salah seorang diantara kalian, sehingga aku
(Rasulullah
saw.)
lebih dicintai dari pada anaknya, orang tuanya, harta bendanya, dan
dari sekalian manusia.”
Jelaslah bahwa mencintai
Baginda Rasul saw merupakan keharusan bagi setiap insan muslim dan
mukmin. Cinta yang dimaksud, bukan hanya ungkapan cinta di bibir dan
lisan saja, melainkan cinta yang disertai dengan mengikuti segala
ajaran serta meninggalkan semua larangan beliau saw.
Sebagaimana yang pernah
diucapkan oleh al-Habib Abdullah Bilfaqih: “Janganlah
mencintai Rasulullah saw dengan cinta yang dusta. Kita menyatakan
cinta, namun kita jauh dari ajarannya. Maka itu merupakan cinta yang
palsu serta sebuah kebohongan belaka.”
Telah kita ketahui
bersama bahwa al-Habib Abdullah Bilfaqih adalah seorang ulama ahli
hadis yang senantiasa menyebarluaskan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Sudah barang tentu hubungan rohaninya dengan Baginda Rasulullah saw
sangatlah dekat. Dalam berbagai forum, ia selalu menyampaikan
hadis-hadis Rasulullah saw.
Setiap kali ia menyebut
nama Rasulullah saw, selalu dengan sebutan sempurna yang menunjukkan
rasa ta’dzimnya
(Hormat.)
terhadap Rasulullah saw.
Pada saat majelis taklimnya, ia mengajak para hadirin bertawassul
serta bershalawat kepada Baginda Muhammad saw. Saat ia menyebutkan
nama Rasulullah saw selalu diiringi dengan cucuran air mata. Tentu
saja hal ini bukan sesuatu hal yang dibuat-buat, sebagaimana yang
dituduhkan sebagian kelompok kepada dirinya.
Mereka mengatakan, bahwa
perbuatan tersebut menyerupai perbuatan agama lain dan cara-cara
aliran sesat serta musyrik. Padahal hal ini merupkan bukti kecintaan
yang tulus dan sangat mendalam terhadap Rasulullah saw. Sejatinya,
mengingat orang yang dicintai, baik secara sadar maupun tidak sadar,
akan membuat hati
dan jiwa kita terasa bergetar. Dari getaran hati dan jiwa itulah yang
membuat air mata bercucuran, inilah yang dinamakan kesucian dan
keseriusan cinta.
Teramat cintanya kepada
Rasulullah saw,
Nampak pada kecintaannya terhadap para Saadah al-Alawiyyin atau yang
lebih popular
dengan Dzuriat
Rasulullah
saw.
(Anak cucu/keturunan Rasulullah saw,
yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Habib, Sayyid ataupun
Syarif.)
Lebih-lebih kepada para Saadah yang sudah berusia lanjut. Jika mereka
datang berkunjung ke rumahnya, maka ketika mereka pulang, ia
mengantarkan mereka hingga ke pintu gerbang rumahnya, bahkan sampai
ke kendaraannya. Tidak jarang ia memberikan hadiah kepada mereka
sebagai bentuk penghormatannya.
Kewafatan
al-Habib Abdullah Bilfaqih
Para ‘arifin adalah
manusia yang tenggelam dalam lautan cinta dan kerinduan yang mendalam
kepada Penciptanya. Mereka adalah insan-insan pilihan yang memiliki
hubungan dekat dengan Allah swt serta Baginda Nabi Muhammad saw.
Meninggalkan dunia ini, bagi mereka adalah puncak keinginan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Kematian bagi mereka
adalah merupakan dambaan besar yang dinanti-nantikan. Karena dengan
sebab inilah, mereka bisa bertemu dengan para kekasihnya.
Dituturkan oleh
seseorang yang telah dianggap sebagai saudaranya sendiri, yaitu
al-Habib Seggaf bin al-Qutub al-Imam al-Habib Abubakar bin Muhammad
Assegaf, bahwa tiga hari sebelum kewafatan al-Habib Abdullah bin
Abdul Qadir Bilfaqih, al-Habib Abdullah sempat menghubunginya dan
berpesan agar hadir pada Hari Ahad Tanggal 30 November 1991
M. (Tepat pada hari kewafatan al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir
Bilfaqih.) Dalam
kesempatan tersebut pula ia juga menitipkan putera puterinya.
Isyarat akan
berpulangnya kehadapan Allah swt sesuai dengan penuturannya sendiri.
Beberapa hari sebelum menjelang kewafatannya, beliau bermimpi bertemu
Rasulullah saw. Setelah hari-hari tersebut beliau sering menuturkan
kepada para putera dan puterinya: “Ayah
kalian akan pergi dahulu…”
Empat hari empat malam seorang hamba menantikan saat-saat bahagia
bagi dirinya tanpa menutup mata, berjaga dalam munajat kepada
Penciptanya swt.
al-Habib Abdullah bin
Abdul Qadir Bilfaqih melihat keluarga dan para muridnya dengan penuh
harap. Pada pukul. 11:00, ia memanggil al-Habib Muhammad seorang
puteranya serta seorang puterinya sambil berkata: “Do’akan
ayahmu panjang umur…”
Tepat pukul 13:15, dengan nafas panjang tiba-tiba ia mengucapkan: “Ya
Allah…”
Menghadaplah beliau kepada penciptanya untuk selama-lamanya.
Prof. DR. Al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih meninggalkan dunia yang fana ini
pada tanggal 23 Jumadil Ula 1412 H bertepatan dengan 30 November 1992
M karena sakit yang dideritanya. Umat seakan tak percaya akan berita
yang mereka dengar. Para murid dan pecinta beliau berduyun-duyun
datang untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada sang
mutiara ilmu ini.
Mereka kehilangan sosok
panutan umat yang selama ini mengayomi mereka, memberikan perhatian
kepada mereka. Lantunan Surat Yasin dan tahlil tanpa henti bergema di
kediamannya. Sekitar rumah duka penuh sesak oleh para pentakziyah.
Entah dari mana datangnya, para pentakziyah laksana gelombang air
yang terus mengalir.
Keesokan harinya,
setelah dishalatkan di Masjid Jamik Kota Malang, dengan diantarkan
ribuan para pentakziah, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum
Kasin, Malang. Jasad beliau dimakamkan dalam qubbah bersanding dengan
makam ayahandanya, al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih.
Prof. Dr. al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir meninggalkan lima orang anak, masing-masing
tiga putera, yaitu: al-Habib Abdul Qadir, al-Habib Muhammad dan
al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih serta dua orang puteri
perempuan, yang dinikahi oleh al-Habib Sholeh bin Ahmad al-Aydrus dan
al-Habib Ahmad bin Usman al-Aydrus.
Hingga saat ini makam
mereka berdua tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang. Ia
tidak meninggalkan harta dunia, namun yang ditinggalkannya adalah
jasa, kenangan baik dan ilmu yang ada di dalam dada para
murid-muridnya. Justru inilah yang menjadi warisan paling penting
dalam kehidupan kita di dunia yang fana ini. Sampai saat ini Lembaga
Pendidikan Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah dan
majelis-majelis yang dirintis oleh Prof. Dr. al-Habib Abdullah tetap
berjalan seperti sedia kala dibawah asuhan ketiga puteranya.
Diantara
kata mutiara al-Habib Abdullah Bilfaqih
Banyak ilmu dan
pelajaran yang amat berharga yang telah disampaikan oleh al-Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih kala hidupnya. Hingga saat ini,
semua itu telah tertanam di hati-hati para pecintanya. Kami sebutkan
beberapa nukilan-nukilan tersebut, diantaranya:
1. Landasan yang paling
ampuh dan sangat kuat adalah rasa iman kepada Allah swt dan Baginda
Nabi Muhammad saw.
2. Bukan dinamakan hidup
bagi seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.
3. Bukan dinamakan hidup
bagi seseorang yang tidak mengenal Allah swt dan Rasul-Nya, serta
tidak pula mengenal ajarannya.
4. Sebarluaskanlah
ajaran Agama Islam dimanapun engkau berada dengan membawa bekal ilmu.
5. Ilmu itu membutuhkan
amal, sedangkan amal membutuhkan keikhlasan dan keikhlasan tersebut
membutuhkan cahaya.
6. Ilmu tidak akan
berguna bagi murid pembohong.
(Maksudnya gemar membohongi Allah swt, Rasulullah saw, guru, serta
dirinya sendiri.)
7. Ilmu adalah pembuka
hati, yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
8. Mendalami tauhid
tidak cukup dengan hanya membaca kitab-kitab risalah tauhid saja,
namun perlu dididik oleh seorang mursyid yang sangat mengenal Allah
swt dan dapat mengantarkan kepada-Nya.
9.Yang diperlukan
manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia adalah ketenangan batin.
10. Diantara ciri
seseorang yang hatinya bersih adalah, apabila ingat kepada Allah swt,
maka ia menangis.
11. Islam merupakan
agama yang sangat rasional dan sebagai agama perjuangan.
12. Seorang muslim yang
sejati apabila ditimpa sesuatu apapun, maka ia tetap tenang dan rela
menerima keputusannya.
13. Akal dapat menjadi
tenang, hati akan menjadi lunak hanya dengan cara selalu ingat kepada
Allah swt.
14. Perkataan seseorang
itu menunjukkan bagaimana akal orang tersebut.
15. Bukan dikatakan
berilmu apabila tidak disertai ketaqwaan dan bukanlah dinamakan
berakal bila tidak dihiasi adab serta budi pekerti.
16. Derajat kewalian
adalah mengikuti Rasulullah saw, baik perkataan maupun perbuatan.
17. Yang disebut wali
adalah seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt dengan
sebenar-benarnya.
18. Cobaan dan ujian
apabila diterima dengan ikhlas serta khusnudzan kepada Allah swt akan
mendekatkan seseorang tersebut kepada derajat kewalian.
19. Jangan pernah
terlintas dalam hatimu untuk berburuk sangka kepada para wali-wali
Allah swt.
20. Kejernihan dan
kebeningan hati merupakan anugerah Allah swt bagi hamba-hamba yang
dipilihnya.
21. Lalai dari Allah swt
merupakan siksa di dalam dunia.
22. Budi pekerti adalah
bagian dari agama.
23. Jarak penghubung
antara kita dan Baginda Nabi Muhammad saw hanyalah kematian.
(Karena dengan kematian kita dapat bertemu Nabi Muhammad saw di alam
barzakh.)
24. Bagaimana sebagian
kalian telah mencaci maki para sahabat Rasulullah saw, sedangkan
Allah swt telah ridha kepada mereka.
25. Barangsiapa yang
mengingkari bahwa Sayyidina Abubakar bukan merupakan sahabat
Rasulullah saw, maka
ia (Orang yang mengatakannya.)
telah kafir. Bagaimana tidak? Karena itu sama halnya dengan
mengingkari al-Qur’an.
26. Jikalau engkau
berdo’a, lalu dihatimu terasa sesuatu,
(Membekasnya sebuah perasaan khusyuk.) maka
hal itu merupakan pertanda dikabulkannya do’a.
27. Orang-orang yang
mencintai Allah dengan sungguh-sungguh tentu tidak akan bermaksiat
kepada-Nya.
(Karena cinta yang sebenarnya adalah berdasarkan ma’rifah atau
pengenalan yang mendalam kepada Sang Pencipta seluruh alam ini.
Karena hal itu akan membuat pecinta tersebut enggan melakukan sesuatu
yang dilarang oleh Allah swt.)
28. Jadilah kalian
sebagai ahli nur, caranya isilah hati-hati kalian dengan dzikir,
shalawat, istighfar dan selalu adakan komunikasi dengan Allah swt.
29. Seseorang yang
menaruh rasa cinta kepada Baginda Muhammad saw tidaklah pernah merugi
di dunia dan di akhirat.
30. Seseorang yang
banyak membaca shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad saw akan cepat
wushul
(Sampai.)
dengan beliau saw.
31. Seseorang yang
sedang menuntut ilmu agama dengan penuh keikhlasan semata karena
Allah swt, lalu ia dianugrahi dapat bermimpi Baginda Nabi Muhammad
saw, maka itu pertanda bahwa ia akan dijadikan seorang yang ‘alim.
WAllahu a’lam…
Sumber: http://majelistawassul.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini