• Gus Miek: Nyantri di Lirboyo


    GUS MIEK DI PESANTREN LIRBOYO


    KH. Djazuli telah sampai pada satu keyakinan bahwa Gus Miek benar-benar memiliki keistimewaan dibanding putra-putranya yang lain.


    Dengan menimbang berbagai peristiwa yang dia saksikan sendiri, juga keterangan-keterangan kiai sepuh dan para santri kepercayaannya yang selama ini menemani Gus Miek, dia kemudian membiarkan Gus Miek menentukan jalan hidupnya sendiri karena bisa jadi telah ada yang membimbing Gus Miek secara ruhani. Apalagi, Gus Miek telah memasuki usia baligh yang berarti sudah harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sudah waktunya dia diberi kebebasan menentukan pilihan hidupnya sebagaimana yang selalu disarankan istrinya, Nyai Rodhiyah, selama ini.


    Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian, Gus Miek melanjutkan perjalanan hidupnya dengan mondok di Lirboyo. Di sana, dia satu kamar dengan ustadz Ali Bakar. Kebiasaan tidur siang dan tidak tidur malam kian membuatnya tersiksa. Sementara para santri yang lain tidak berani bergaul dengannya karena takut dengan ustadz Ali Bakar. Bila ustadz Ali Bakar di kamar, Gus Miek biasanya duduk melamun di serambi masjid menghadap ke utara. Dan, bila ustadz Ali Bakar tidak berada di kamar karena pulang ke Bandar, baru ia tidur di kamar.

    Di pondok ini, dia cukup rajin mengikuti pengajian. Tetapi, kebiasaan di Ploso belum dapat di­hilangkannya. Saat santri lain sibuk belajar, dia hanya tidur dan membiarkan kitabnya di atas meja, dan baru bangun bila pelajaran selesai. Meskipun demikian, bila sang guru mengajukan berbagai pertanyaan yang ber­kaitan dengan materi yang disampaikan ketika Gus Miek baru bangun tidur, Gus Miek selalu bisa men­jawab secara memuaskan.

    Di antara keanehan Gus Miek saat nyantri di Lirboyo adalah meletakkan kitab-kitabnya di atas genting kamarnya, membiarkan terkena panas dan hujan. Dan, kalau dia sudah tidur, tak seorang pun bisa dan berani membangunkannya sampai ia terbangun.
    Sesekali Gus Miek bermain ke kamar santri lain untuk merokok bersama dan mengobrol. Lama-lama, Gus Miek lebih kerasan di kamar lainnya ketimbang di kamarnya sendiri. 

    Sejak saat itu, Gus Miek tampaknya mulai betah dan bisa menikmati hari- harinya di Pondok Lirboyo. Gus Miek mulai mengenal beberapa santri secara lebih dekat dan akrab. Di antara para santri yang dekat dengan Gus Miek saat di Lir­boyo adalah Abdul Ro’uf dari Blitar yang mendapat tugas memasak, kakaknya yang mendapat tugas mengambil jatah beras dan kebutuhan Gus Miek lainnya di Ploso,43 dan Abdul Zaini dari Gresik yang memiliki suara yang bagus dalam melantunkan Al-Qur’an. Sedangkan teman berbincang dan bermain Gus Miek yang lain adalah Gus Idris dan Gus Fatkhurrohman.

    Abdul Ro’uf menceritakan bahwa KH. Djazuli sangat perhatian kepada Gus Miek, terutama dalam jatah bulanan. Hampir semua lauk pauk dan makan­an yang enak-enak yang dia dapatkan dari para tamu tidak dia makan, tetapi disimpan untuk dikirimkan kepada Gus Miek. Kebetulan, Gus Miek adalah satu- satunya putra KH. Diazuli yang mondok di pesan­tren lain, sementara saudara-saudara yang lain dilarang mondok karena cukup belajar kepada ayahnya saja.

    Hari-hari Gus Miek ketika mondok di Lirboyo lebih banyak digunakan untuk bepergian ketimbang tinggal di pondok. Orang yang paling dekat dengan Gus Miek semasa di Lirboyo adalah Abdullah dari Magelang. Abdullah sendiri sering ditugaskan membeli rokok dan selalu diajak menemani Gus Miek ke mana pun Gus Miek pergi. Barangkali karena ke­beradaan Abdullah inilah yang membuat Gus Miek bisa mengenal daerah Magelang secara lebih luas. Sebab, kebiasaan Gus Miek adalah mengunjungi rumah-rumah orang terdekatnya sehingga ia yang belum genap berusia 14 tahun itu sudah mengenal KH. Dalhar Watucongol dan tokoh-tokoh besar lainnya.

    Walaupun Gus Miek masuk ke Pondok Lirboyo dibawa langsung oleh KH. Mahrus Ali, tetapi Gus Miek tidak pernah belajar kepada KH. Mahrus Ali karena Gus Miek merasa ada satu jarak antara dirinya dengan KH. Mahrus Ali. Sekat pembatas ini terus berlanjut, bahkan semakin meruncing sejak Gus Miek memberikan dukungan pada awal pendirian Jama’ah Wahidiyah KH. Abdul Madjid, Kedunglo, sampai meninggalnya KH. Mahrus Ali. Terlebih lagi sejak ke­dekatan Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq.

    Gus Miek dibawa oleh KH. Mahrus Ali bisa jadi hanya karena saat itu KH. Mahrus Ali memegang tampuk pimpinan NU dan KH, Djazuli adalah ulama besar yang sangat disegani oleh para pembesar NU. KH. Mahrus Ali yang juga pengasuh Pondok Lirboyo, bisa jadi dianggap oleh KH. Djazuli bisa menerima dan mendidik Gus Miek yang telah memasuki fase jadzabnya

    Tetapi, di tengah-tengah pendidikannya di Lir­boyo, Gus Miek kemudian pergi ke Watucongol, Magelang, ke sebuah pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah. Kepergian Gus Miek ke Magelang ini bisa jadi berdasarkan informasi dari Abdullah, sebagaimana yang telah diceritakan di muka, atau barangkali karena kekuatan aura kewalian Gus Miek untuk silaturrahim kepada para wali yang lain. Berangkat dari sinilah, pengembaraan Gus Miek kemudian terus berlanjut dalam mendalami ilmu dan kesejatian yang dicarinya.

    Disadur dari Buku Perjalan dan Ajaran Gus Miek
  • DAFTAR SEKARANG

    Pendaftaran Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Itqon Patebon, Kendal Tahun Pelajaran 2023/2024 Daftar Sekarang, Kuota Terbatas.

    ALAMAT

    Kebonharjo RT 3 RW 2 Patebon Kendal Jawa Tengah

    EMAIL

    spmalitqon@gmail.com
    mak.alitqon@gmail.com

    TELEPON

    0813-1111-9337

    WHATSAPP

    0813-1111-9337